Back to Jakarta
Jakarta sore ini indah. 14 Mei menjadi hari, dimana saya bisa kembali ke negeri sendiri. Setelah 2 tahun menyelesaikan pendidikan di negeri yang jauh, akhirnya saya kembali. Dari New York ke Jakarta. Meski hanya singgah untuk beberapa hari. Tapi bisa untuk mengobati rasa rindu yang bersemayam di hati.
Setibanya di Bandara Juanda. Turun dari pesawat. Kamu datang menjemput. Penuh rasa haru dan bahagia memeluk saya erat. Waktu seakan memberikan persembahan untuk kita berbagi perasaan. Berhenti untuk memberi ruang akan perasaan yang tak lama berjumpa. Kamu membuat saya bahagia. Ngga salah kalau kamu adalah tujuan dari setiap penantian yang saya lakukan selama ini.
Tangan saya bergetar. Tubuh ngga mau lepas dari pelukan yang sudah lama ngga saya rasakan lagi. Yang biasanya hanya bisa bersua melalu suara dari layar handphone dengan wajah kamu. Sekarang saya bisa melampiaskannya langsung ke kamu. Saya bisa, mencium kening kamu, mendengar suara yang lebih merdu sari kicau burung di pagi hari dan air yang mengalir dari hulu ke hilir, lalu memegang lembut tanganmu yang mungkin sudah lupa rasanya seperti apa. Bahagia yang ngga ada tandingannya. Bidadari surga saya ada di depan mata. Ngga mungkin saya sia-sia kan.
Jakarta meredupkan sinarnya. Cahaya lampu kota mulai menyapa saya. Langit membuka semua awan untuk memberi sambutan dengan semua bintang-bintangnya. Bising Jakarta seakan menandakan bahwa ingin berkata," Selamat datang kembali". Saya yang menyupir mobil di sebelah kamu. Lalu kamu bertanya pada saya, "Aku udah masak buat kamu loh di rumah".
"Kamu masak apa hari ini?" Tanya saya.
"Menu favorit kamu, olahan bumbu kacang. Ada sate ayam, ada tahu telor. Banyak lah, makanan yang kamu ngga bakal temuin di New York". Balas kamu dengan penuh semangat.
"Benarkah? Jadi ngga sabar pingin makan".
"Pelan-pelan aja bawa mobilnya. Gpp telat sampe rumah. Yang penting kamu dan aku selamat", dengan nada bicara lembut kamu yang menyejukkan rindu saya.
"Oh iya, gimana kamu hari ini?"
"Aku hari ini semangat, karena tau kalo kamu bakal kembali ke Jakarta". Ucap kamu.
Di perjalanan menuju tempat yang kita sebut dengan rumah itu, kamu berbicara banyak hal. Kamu bercerita kepada saya tentang hari-hari kamu bersama kenangan Di Jakarta sewaktu saya masih di New York. Kamu juga ngga lupa cerita tentang berapa banyak orang yang berusaha mendekati kamu. Tapi saya ngga khawatir. Karena saya punya Tuhan, sebagai tempat paling aman untuk menitipkan kamu.
Komentar