Melamarmu
Dulu, sebelum kita menikah. Kamu datang ke rumahku, tanya kabar tentang kondisiku kepada ayah dan mama. Kamu bilang kalau kamu datang untuk meminta aku sebagai istri kamu. Sebagai teman yang akan kamu muliakan di hadapan tuhan, dan berjanji untuk membahagiakan aku seperti ayah dan ibuku membuat aku bahagia selama ini.
"Pak, buk. Saya datang kemari ingin meminta izin untuk melamar anak perempuan bapak dan ibu." Kata kamu kepada mereka berdua yang duduk di ruang tamu menjamu kamu.
"Ibu sama bapak ngga melarang, kalau putri ibu mau dan punya perasaan yang sama ke kamu. Ibu mengizinkan." Balas ibuku dengan nada bicara yang lembut.
"Kalau bapak juga sama, mas. Kamu datang ke sini baik-baik dan kamu minta dengan baik-baik juga. Bapak cuman mau tanya satu hal, kalau semisal nanti kami berdua sudah tidak ada di dunia, dan kalian sedang dalam masalah yang mengancam kehancuran keluarga kalian. Apa yang akan kamu lakukan sebagai kepala rumah tangga?" Tanya ayahku.
"Sebelumnya saya berterimakasih karena telah diperbolehkan oleh bapak dan ibu untuk melamar putri kalian. Dan jika suatu saat ada waktu yang mengguncang keluarga kami, saya sendiri juga manusia yang sama dengan manusia lainnya. Punya rasa lemah dan amarah. Tapi yang jelas dalam sebuah rumah tangga adalah membangun pondasi yang kuat di dalamnya. Dan seperti kata ibu saya yang membesarkan saya, pondasi terkuat di dunia adalah iman kepada tuhan serta percaya bahwa tuhan bisa membantu kita dalam setiap masalahnya."
Aku yang waktu itu berada di balik tembok kamar, mendengar semua jawaban kamu. Aku yakin bahwa ayah dan mama akan setuju dengan jawaban kamu. Karena sebelum aku mengajak kamu berkenalan dengan mereka berdua, kamu selalu bisa membuat pikiran dan hati aku menjadi setenang air sungai. Memberi jawaban untuk selalu bisa kembali ke jalan yang tepat dan tidak pernah memaksakan kehendak adalah kamu yang sesungguhnya. Kamu yang mencoba untuk bijaksana dalam memberi keputusan dan berbicara.
Kamu bisa membuat aku merasakan hangat cinta tanpa merasakan jatuh yang menyakitkan. Dan jantungku berdegup semakin kencang ketika aku mendengar suara ayah, untuk memanggilku keluar.
"Kakak, ke ruang tamu sebentar kak." Panggil ayah.
Degup jantungku yang cepat membuat langkah ke dua kaki ku seperti menggigil kedinginan.
"Iya yah." Balasku tanpa berteriak.
Aku masuk ke ruang tamu dan melihat wajah kamu yang tenang sambil tersenyum ke arahku.
"Mas, bapak dan ibu kasih kamu waktu 5 menit untuk bicara berdua. Silahkan selesaikan urusan kalian berdua." Kata ayahku ke kamu sebelum akhirnya mengajak ibu masuk ke dalam rumah.
Aku duduk di depan kamu. Di antara kita hanya ada meja dengan secangkir teh hangat manis yang aku buatkan ketika kamu baru saja datang.
"Teh nya di minum dulu mas, masih hangat sepertinya."
"Iya, makasih." Kamu mengangkat cangkir yang masih tersisa setengah air teh di dalamnya lalu meminumnya.
"Saya tadi sudah bicara sama ayah dan mama kamu. Alhamdulillah mereka setuju, untuk saya melamar kamu." Kata kamu, setelah menaruh cangkir di atas meja.
"Alhamdulillah mas." Jawabku singkat.
"Saya tanya kembali ke kamu. Apakah kamu mau menerima saya sebagai suami sekaligus teman yang akan menjadi telinga, mata, dan tangan kamu di masa tua nanti?" Tanya kamu kepada ku dengan nada bicara lembut.
"Iya mas. Aku mau kamu jadi imam aku."
Komentar