Sina dan Cinta Masa Lalunya (Part 1)
Di lain sisi, Sina yang pandai dalam merangkai kata-kata juga sering merasakan kesepian. Sina berpikir dan merasa bahwa dia juga sama seperti manusia pada umumnya. Butuh tempat untuk bercerita, butuh tempat untuk singgah, butuh tempat yang sering disebut rumah oleh orang-orang lainnya. Sina hanya memikirkan kepentingan untuk orang banyak. Tak perduli masalah apa yang sedang dia hadapi, kalau untuk membuat orang lain senang, akan Sina hadapi.
Hingga September datang. Sina yang tengah meratapi malam sembari menatap layar laptopnya merasakan kesepian yang berbeda dari biasanya. Sina meneteskan air matanya tiba-tiba tanpa ada aba-aba. Tak ada orang di sampingnya. Sina, menangis.
Alasan dibalik tangisannya adalah dia ingin sekali merasakan cinta dari orang yang dia cintai. Sudah 3 tahun Sina sendirian. Laki-laki yang mencintainya waktu itu menyerah dengan dia karena Sina tidak bisa merasakan cinta yang sama terhadapnya. Keegoisan Sina terbayarkan oleh penyesalan di bulan september. Bulan kelahirannya. Bulan dimana dia yang seharusnya merasakan kebahagiaan dan kehangatan, malah merasakan kesepian dan kesakitan.
September berganti Oktober, Oktober berganti November, November berganti menjadi Desember. Sina telah sampai di cerita akhir tahun dengan kesepian yang tidak bisa beranjak dari dalam dirinya. Rantai yang mengikat rasa perih belum juga terbuka karena kunci yang dibutuhkan tak kunjung tiba.
23 Desember, pertemuan pertama setelah hampir 10 tahun berpisah dengan laki-laki yang menjadi cinta pertamanya kini hadir di depan matanya. Sina yang sedang duduk di salah satu bangku kedai kopi tempat biasa dia untuk menulis, melihat ke arah kasir. Seorang laki-laki remaja dengan jaket jeans warna biru muda sedang memesan salah satu menu yang terpasang di dinding belakang meja kasir.
Berselang beberapa menit setelah pegawai kasir itu memasukkan uang yang sudah diberikan sebagai tanda pembayaran ke dalam laci meja. Laki-laki itu pergi memilih tempat duduknya. Sina masih dengan sadar memandangi laki-laki itu dari tempat dia duduk.
Pesanan datang. Sebuah cangkir berwarna putih diantarkan menggunakan sebuah nampan oleh si pelayan kepada laki-laki itu. Sina yang menatapnya dari kejauhan berpikir kalau itu adalah kopi panas. Minuman yang sangat cocok dinikmati ketika hujan mulai jatuh dari langit. Waktu itu memang situasi di luar kedai sedang hujan. Sina hanya merasa bahwa, "Apa benar, laki-laki itu adalah dia?" Pertanyaan ragu pada diri Sina yang membuatnya percaya kalau laki-laki dengan jeans warna biru muda itu adalah cinta pertama nya 10 tahun lalu.
Jam pelayanan kedai hampir selesai. Hujan yang tadi membasahi jalanan telah berhenti. Sina, mengemasi barang-barangnya dan beranjak pergi dari kedai kopi itu. Dan seketika Laki-laki yang mengenakan jeans biru muda itu menghampirinya sambil berteriak, "Hey nona."
Sina yang mendengar suara laki-laki itu menoleh ke arah nya. Sambil berkata, "Kamu panggil saya?"
"Iya, maaf mengganggu sebentar." Kata laki-laki itu yang sudah berdiri di hadapannya.
"Ada yang bisa saya bantu?" Tanya Sina kembali.
"Saya ingin memastikan saja, apa benar kalau nona adalah Sina?" Balas laki-laki itu.
Sina yang sedikit terkejut dengan pertanyaan laki-laki itu membalas dengan jawaban, "Iya, Saya Sina."
"Syukurlah, sesuai dengan apa yang saya pikirkan."
"Ada keperluan apa, ya?"
"Tidak ada, hanya menawarkan jasa untuk teman bicara. Apakah Kamu mau?" Ajak laki-laki itu dengan nenjulurkan tangannya.
"Sekarang?" Tanya Sina sambil kebingungan.
"Itu kalau, kamu tidak keberatan." Balas laki-laki itu dengan tersenyum.
"Boleh. Tapi kedainya mau tutup."
"Bagaimana kalau taman kota?"
"Maksudnya?"
Laki-laki itu menawarkan tempat untuk mengobrol karena kedai yang mereka singgahi akan segera tutup.
>Bersambung<
Komentar